JAKARTA, BANPOS-Pemerintah dan DPR mengebut rampungnya Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) sebelum KTT G20 dihelat pada November 2022.
Hanya saja, salah satu klausul dalam beleid tersebut terkait skema power wheeling, dinilai berpotensi merugikan negara dan merupakan langkah liberalisasi.
Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik.
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai jika klausul tersebut diloloskan, maka sejatinya melanggar UU Kelistrikan dan juga putusan Mahkamah Konstitusi terkait bundling unbundling.
“Di satu sisi, Undang-Undang Dasar 1945 itu mengamanatkan bahwa kekayaan negara harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk masyarakat. Aset pemerintah berupa transmisi dan jaringan distribusi, sejatinya tidak bisa dikomersialisasikan,” kata Fahmy, Senin (24/10).
Di sisi lain, kata Fahmy klausul tersebut juga berpotensi untuk merugikan negara. Sebab, dengan skema open source dimana aset transmisi dan distribusi bisa dimanfaatkan secara terbuka maka akan mempengaruhi Harga Pokok Produksi (HPP).
“Dimana para swasta bisa menyewa aset tersebut dengan harga yang murah yang nantinya akan mempengaruhi HPP. Padahal, PLN menjual listrik di bawah HPP saat ini yang dimana didalamnya diberikan kompensasi dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),” ujar Fahmy.
Di satu sisi, hal ini juga tidak menyehatkan PLN. Sebab, transmisi dan jaringan distribusi dibangun menggunakan investasi PLN.
Jika swasta memanfaatkannya dengan harga murah, maka hal tersebut akan merugikan PLN.
“Mereka bisa menyewa tanpa harus membangun, dimana PLN membangun tersebut membutuhkan skema investasi dan juga beberapa proyek menggunakan dana APBN melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN), yang sejatinya hal tersebut tidak bisa dikomersialisasikan,” pungkas Fahmy.(PBN/RMID)
Discussion about this post