JAKARTA, BANPOS-Menaikkan harga BBM bisa diambil Pemerintah sebagai jalan untuk menjaga stabilitas fiskal APBN akibat gejolak harga migas dunia. Namun, kebijakan ini harus berdasarkan kalkulasi yang tepat dan valid; berapa sejatinya persentasi kenaikan harga BBM dan gas yang cukup bisa diterima.
Solusi ini disampaikan Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), Dr Mukhaer Pakkana, agar Pemerintah bisa mengambil langkah yang tepat menghadapi kemungkinan defisit APBN yang terlalu jauh dari batas normal menurut undang-undang, yaitu 3 persen.
“Kenaikan harga BBM menjadi solusi. Tentu harus dilakukan berdasarkan kalkulasi persentasi kenaikan harga yang tepat dan valid dalam satu dua hari ini, berikut simulasi implikasi serta dampak ekonomi dan sosial lainnya,” ujar Mukhaer Pakkana, di Jakarta, Minggu (27/8).
Sebelumnya, solusi kenaikan harga BBM ini juga disampaikan Rektor Universitas Indonesia, Prof. Ari Kuncoro. Berbicara dalam sebuah webinar “Kenaikan Harga BBM, Apakah Suatu Keharusan” di Jakarta, Sabtu (27/08), Prof. Ari mengatakan, subsidi BBM harus dikurangi sampai pada level di mana dampaknya tidak terlalu drastis.
“Kita berada pada situasi trade-off antara pertumbuhan dan ketahanan anggaran. Pertanyaannya, subsidi BBM harus dikurangi sampai berapa sehingga dampaknya tidak terlalu drastis pada sektor-sektor yang berbasis mobilitas sehing ga pertumbuhan ekonomi tidak tergerus terlalu banyak,” papar Ari Kuncoro.
Dalam hitungan Ari Kuncoro, Pemerintah bisa menaikkan harga BBM sebesar 30%-40%. Kemudian, pada saat yang bersamaan, juga bisa dilakukan kebijakan separating equilibrium dengan hanya membolehkan konsumsi BBM subsidi berdasarkan jenis kendaraan roda dua, angkutan umum dan logistik.
Menurut Ari Kuncoro, ini merupakan ‘strategic sequential waiting game’ serupa dengan strategi yang digunakan Presiden Jokowi saat menghadapi wabah pandemi. Yaitu, tidak sepenuhnya lockdown, tetapi mengelola situasi agar pandemi terkendali, sementara ekonomi tetap berjalan.
Discussion about this post