PANDEGLANG, BANPOS-Kurangnya kesadaran masyarakat dalam melaporkan kasus kekerasan pada anak dan perempuan yang dialaminya, sehingga data yang ada baik dari pihak kepolisian maupun pada Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Pandeglang tidak tercatat secara keseluruhan. Namun, berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata korban kekerasan berasal dari keluarga miskin.
Psikolog yang menangani kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Kabupaten Pandeglang, Rika Kartikasari, M.Psi menyebutkan bahwa pihaknya telah membuat laporan kepada pihak kepolisian sebanyak 16 kasus pada tahun 2020.
“Sebanyak 16 kasus yang saya buat laporan ke kepolisian di tahun 2020 dan yang diperiksa sebanyak 30 kasus. Sebanyak 24 kasus yang saya buat laporan ke kepolisian dan 35 kasus yang saya periksa di tahun 2021. Jadi dari 35 kasus yang saya periksa, laporannya sebanyak 24 kasus,” kata Rika kepada BANPOS melalui pesan WhatsApp, Senin (23/5).
Dijelaskannya, rata-rata korban kekerasan anak dan perempuan dari keluarga kurang mampu, yaitu mayoritas anak perempuan yang orang tuanya mengalami perceraian.
“Dari latar belakang keluarga biasanya, mohon maaf, sebagian besar korban dari keluarga kurang mampu pada anak banyak yang orang tuanya bercerai, maksudnya dia tinggal dengan orang tua tunggal tapi seperti yang tidak terpantau,” terangnya.
Menurutnya, terkait dengan jumlah kasus yang terjadi pada tahun 2020 dan 2021 tersebut, pihaknya tidak bisa menyebutkan ada penambahan atau pengurangan. Karena kasus kekerasan pada anak dan perempuan tersebut seperti gunung es, kelihatannya sedikit tapi jumlahnya banyak.
“Sebenarnya saya tidak bisa bilang ada penambahan, karena kasus ini seperti gunung es. Sepertinya sedikit, tapi banyak. Bisa saja kasus yang tahun 2021 lebih banyak, karena kesadaran masyarakat untuk melapor,” terangnya.
“Jadi kalau menurut saya pada tahun 2021 ada bertambah angka korban, berarti ada kesadaran dari masyarakat untuk melapor. Karena belum tentu juga tahun 2020 lebih sedikit, itu karena kasusnya tidak ada,” tambahnya.
Oleh karena itu, lanjut Rika, untuk mengantisipasi terjadinya kasus kekerasan pada anak dan perempuan, pihaknya menyarankan agar pemerintah daerah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dari berbagai lini.
“Saran saya melakukan sosialisasi ke berbagai lini masyarakat, misalnya untuk yang berkaitan dengan pendidikan maka dilakukan melalui Lembaga Pendidikan formal, non formal dan informal. Untuk pemerintahan, dilakukan secara berjenjang dengan melibatkan TP PKK kecamatan, ibu-ibu istri Kepala Desa (Kades), kader Puskesmas, kader Posyandu melakukan sosialisasi dalam rangka melakukan pencegahan,” jelasnya.
Selain itu, tambah Rika yang juga sebagai Ketua Bapemperda DPRD Pandeglang, pemerintah daerah juga bermitra dengan pihak kepolisian untuk memberikan sosialisasi dari aspek hukum.
“Kalau saya secara pribadi selaku Ketua Bapemperda bukan sebagai psikolog yang menangani. Saya menyambut baik disahkannya UU no 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual. Semoga menjadi bahan untuk Propemperda pada tahun mendatang,” ungkapnya.(dhe/pbn)
Discussion about this post