MK juga menyatakan, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 tidak mengatur batas minimal pendidikan capres-cawapres. Pasal 6 ayat (2) menyerahkan pengaturannya kepada UU. Sehingga, pembentuk UU memiliki kewenangan untuk menyesuaikan ketentuan tersebut berdasarkan dinamika dan kebutuhan nasional.
“Bilamana dibutuhkan, pembentuk undang-undang dapat meninjau ulang ketentuan ini untuk menetapkan standar pendidikan yang ideal, demi kepentingan terbaik bangsa dan negara,” ucap Ridwan.
Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf menyambut baik putusan MK ini. Dia menegaskan, secara konstitusional, tidak ada kewajiban bagi capres-cawapres untuk berpendidikan sarjana. Dede menegaskan, prinsip demokrasi harus menjamin keterbukaan dan inklusivitas tanpa diskriminasi terhadap latar belakang pendidikan.
“Bahkan di berbagai negara maju juga tidak ada. Ini agar tidak ada diskriminasi terhadap semua elemen masyarakat untuk mencalonkan atau dicalonkan,” ucap politisi Partai Demokrat ini.
Namun, dia menekankan pentingnya norma politik yang mempertimbangkan kualitas kepemimpinan. Terutama di tengah upaya peningkatan standar pendidikan nasional.
E-Paper BANPOS Terbaru
Selain pendidikan, lanjut Dede, seorang capres dan cawapres juga perlu memiliki rekam jejak yang baik dalam manajemen, kepemimpinan organisasi, serta kemampuan menghadapi krisis. “Apalagi ini menyangkut wajah negara kita di mata internasional. Sangat wajar jika kita menginginkan standar pendidikan pemimpin kita juga tidak kalah di mata dunia,” tegasnya.
Pakar hukum tata negara Radian Syam juga memandang, putusan MK menolak permohonan uji materi terkait syarat pendidikan capres-cawapres adalah langkah tepat. Putusan ini sejalan dengan prinsip demokrasi dan semangat konstitusi.
“Putusan ini menegaskan bahwa pembentukan norma baru bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi, melainkan menjadi domain pembentuk undang-undang, yaitu DPR,” ujar Radian Pada Kamis (17/7/2025).
Menurut Radian, dalam negara demokratis, kualitas kepemimpinan memang penting. Namun, menambahkan syarat pendidikan formal berupa ijazah sarjana justru bisa membatasi hak konstitusional warga negara. Bahkan, berpotensi menjadi bentuk diskriminasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai konstitusi.
Discussion about this post