Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Pemerhati Tata Kelola Publik
“Menuju Banten Maju, Adil, Merata, dan Tidak Korupsi.” Jargon ini menyertai peluncuran Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Banten 2025 oleh Gubernur Andra Soni. Namun, di balik bahasa visioner itu, publik bertanya: di mana dampak nyatanya? Warga masih menghadapi pelayanan yang lamban, membingungkan, dan sering kali menyulitkan. Laporan Ombudsman RI Banten (2023) menunjukkan bahwa aduan tertinggi tetap berasal dari layanan dasar: perizinan, pendidikan, dan kesehatan. Ini menandakan bahwa klaim inovatif belum menyentuh akar masalah birokrasi kita.
Inovasi sejati bukan soal aplikasi baru atau presentasi PowerPoint. Seperti ditegaskan Joseph Schumpeter dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1942), inovasi adalah kekuatan yang mengguncang sistem stagnan dan menghadirkan perubahan nyata. Tapi di Banten, banyak inovasi hanya berakhir sebagai dokumen lomba yang rapi—dipuji di atas panggung, tapi tak dikenal oleh warga. Ini mencerminkan disonansi birokratik yang semakin melebar: pejabat hidup di satu dunia, rakyat hidup di dunia yang lain.
Seorang guru honorer di Lebak mengaku aplikasi layanan pendidikan yang dimaksud lebih sering macet daripada membantu. Di Pandeglang, seorang ibu mengeluhkan sistem online perekaman KTP yang tak kunjung berfungsi, ditambah petugas yang bingung sendiri. Di mana letak inovasinya jika masyarakat justru semakin frustrasi?
Masalahnya bukan ketiadaan ide, melainkan keberanian untuk menyentuh akar masalah. Banyak ASN muda memiliki gagasan segar, tetapi terkendala struktur hierarkis yang tak memberi ruang. Sebaliknya, inovasi OPD justru dibuat elitis: berorientasi pada lomba, bukan pada kemanfaatan publik. Laporan Indeks Reformasi Birokrasi 2023 dari Kemenpan-RB bahkan menempatkan Banten di level B, dengan catatan kritis pada manajemen perubahan dan mutu pelayanan publik. Ini menunjukkan bahwa semangat inovatif belum menjelma menjadi reformasi konkret.
Orientasi birokrasi Banten perlu digeser: dari seremoni ke substansi. Inovasi tak boleh lagi dinilai dari keindahan proposal, tetapi dari kemudahan yang dirasakan warga. Pemerintah harus membuka ruang uji dampak partisipatif yang melibatkan masyarakat sipil. Gagasan harus diuji bukan di ruang rapat, melainkan di lapangan. Setiap aplikasi harus bisa diuji langsung di kantor desa, puskesmas, dan sekolah. ASN yang berhasil menciptakan solusi perlu diberi insentif nyata dan diangkat sebagai teladan, bukan dibungkam karena “tidak sesuai mekanisme”.
E-Paper BANPOS Terbaru
Banten tidak kekurangan ide. Yang kurang adalah keberanian untuk mengakui bahwa sistem kita masih terlalu lambat berubah. Pelayanan belum sepenuhnya manusiawi. Bahkan, digitalisasi belum otomatis menghasilkan percepatan jika masih dikerangkai oleh cara kerja lama. Dalam bahasa Max Weber, birokrasi modern seharusnya rasional dan efisien, bukan penuh simbol tapi minim aksi.
Tanpa keberanian menyentuh struktur, inovasi hanya jadi panggung gemerlap yang kosong makna. Rakyat tak butuh jargon baru. Mereka butuh kehadiran negara yang sederhana, jelas, dan cepat. Kita tak butuh inovasi yang berhenti di meja penilaian. Kita butuh transformasi yang terasa hingga ke desa. Inovasi, jika tak menyentuh hidup rakyat, hanyalah kesia-siaan yang dikemas mewah.(*)
Discussion about this post