Oleh : H. Ahmad Nuri
Sekretaris DPRD Kota Serang
DI penghujung ramadhan ini, tiba-tiba ingin menulis tentang makna puasa sebagai momentum strategis mengamputasi watak kaum mustakbirin yang menempel pada diri kita ketika berhadapan dengan orang-orang mustadh ‘afin.
Dua terminologi ini bisa diartikan bahwa mustadh’afin sering di sematkan pada mereka yang hidup tak seindah kita, hidup miskin, tertindas, tuna akses dan sebutan lainnya yang menandakan posisi marjin bahkan dibawah (tabaqeh-epayin atau proletar).
Sementara terminologi mustakbirin identik dengan kelas atas (tabaqeh-e bala atau borjuasi) di indentifikasi dengan penindas, pengekspoitir, feodalis, kapitalis, kelas berkuasa, penikmat kemewahan, dan elit yang bermegah-megahan tapi nircareness [tanpa kepedulian].
E-Paper BANPOS Terbaru
Penulis tidak sedang mendeskripsikan dikotomi kelas sosial pada dimensi teoritik an sich yang dikaitakan dengan politik kekuasaan negara dalam relasi global, itu terlalau jauh tapi penulis hanya mengunakan terminologi plus maknanya dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Ralitasnya watak-watak kaum mustakbirin akan selalau ada pada diri kita terartikulasi dengan sikap keseharian yang dihadapkan secara vis a vis dengan kondisi objektif kehidupan sosial yang kita temui di kehiduapan selama ini.
Maka dengan momentum ibadah puasa ramadhan ini, penulis tidak sedang menghakimi siapapun disini tapi tentang intropeksi dan merefleksikan watak diri sendiri yang terkadang seperti kaum mustakbirin.
Dan akan menjadi menarik dan relevan untuk di kaji dalam tulisan ini meski tidak secara detail dan komprehensif paling tidak telah melakukan intropeksi diri (muhasabah) bahwa watak mustakbirin itu kadang hinggap di diri kita.
Dalam keseharian, kaum mustadh ‘afin teridentifikasi dengan kondisi memprihatinkan kehidupan sosialnya, seperti kemiskinan dengan biasa lapar, biasa dahaga biasa lemah, biasa menderita, biasa tidak menemukan makanan layak dikonsumsi oleh mereka dalam bertahan hidup.
Sementara ada sebagian dari kita hidup dengan bergelimang kemewahan, serba ada, kaya raya tapi terus mengakumulasi kapital bahkan hedonisme yang di pertontonkan dalam istilah sekarang flexing agar mendapat citra elit dimata publik tapi kikir bin bahil tidak ketulungan, bahkan sering menghadrik kaum mustadh ‘afin sebagai bagian beban sosial yang harus di hindari.