Pertama menggunakan fasilitas pajak penghasilan (PPh) Final UMKM dengan tarif 0.5 persen dari peredaran bruto. Dalam hal ini peredaran bruto telah mencapai Rp500 Juta, maka peredaran bruto yang telah melebihi Rp500 juta dikenai PPh final.
Kedua, WPOP pengusaha tertentu dapat menggunakan pencatatan dengan norma penghitungan penghasilan netto (NPPN) dalam menghitung besaran PPh terutang. Namun WP harus mengajukan terlebih dahulu ke KPP terdaftar.
“Terakhir membayar pajak menggunakan metode pembukuan. Berdasarkan pembukuan dapat diketahui penghasilan kena pajak dan penghitungan pajaknya menggunakan tarif pajak progresif,” jelas Purbo.
Sedangkan Praktisi Perpajakan Basuki Widodo kepada peserta seminar lebih menekankan pentingnya WP untuk tertib adminsitrasi pembukuan, khususnya bagi pelaku UKM. Tujuannya agar mereka tidak menjadi “incaran” pemeriksaan petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
“Petugas DJP itu bekerja berdasarkan target pendapatan pajak, jadi mereka tidak mau tahu wajib pajak sedang untung atau rugi,” kata Widodo.
Namun begitu Widodo berpesan agar para pelaku UMKM tidak perlu takut atau khawatir jika mengalami masalah pajak atau didatangi petugas DJP. “Hadapi saja, jangan dilawan,” imbuhnya.
Widodo menjelaskan, pajak yang harus dibayarkan oleh para pelaku UMKM tergantung pada jenis transaksi dan juga jumlah omzet usahanya dalam setahun.
Misalnya PPh Pasal 21 jika UMKM memiliki pegawai, PPh Pasal 4 Ayat 2 atau PPh Final jika pelaku UMKM menyewa kantor atau gedung, omzet penjualan, dan lain-lain.
“Kemudian PPh Pasal 23 jika UMKM melakukan transaksi pembelian jasa,” jelasnya.
Widodo juga menyebut tenggat waktu wajib pajak PPh Final bagi UMKM adalah tanggal 15 setiap bulannya. “UMKM wajib membayar pajak tepat waktu,” imbuhnya.
Praktisi perpajakan yang juga Direktur Indonesia Tax Care (Intac) ini menambahkan, ada beberapa cara agar UMKM terhindar dari pemeriksaan pajak, diantaranya pengisian semua SPT benar dan lengkap serta standar dan siklus laporan keuangannya benar.
Discussion about this post