JAKARTA, BANPOS – Media sosial (medsos) menjadi salah satu tempat subur bagi narasi intoleransi dan ujaran kebencian. Karenanya, membangun kesiapsiagaan digital dalam bentuk daya tangkal yang kuat, deteksi dini, dan resistensi terhadap konten radikalisme di media sosial sangat penting untuk ditanamkan kepada generasi bangsa.
Konsultan komunikasi dan pakar media sosial Rulli Nasrullah mengungkapkan, penyebaran radikalisme dan terorisme di medsos dilakukan dengan pendekatan persuasif, tidak hard selling. Ketika pengguna sudah merasa nyaman, maka ditanamkanlah ide dan pendekatan secara perlahan.
“Setelah itu, next step-nya dimasukkan dalam grup-grup diskusi seperti WhatsApp, Telegram, atau messaging yang lain, dan kemudian informasi yang lebih personal,” ucap Kang Arul, sapaan Rulli Nasrullah.
Kang Arul menekankan, karakter dan tingkat literasi media individu berperan penting untuk menyaring referensi yang dibaca, mengingat algoritma dalam internet cenderung akan memberikan referensi sesuai dengan yang sering dibaca. Jika seseorang suka dengan konten-konten keras, radikal terorisme, dan kebencian, dengan sendirinya referensi yang muncul akan konten konten sejenis. Namun terkadang, individu itu sendiri yang kurang cakap untuk menyaring filter yang negatif.
Oleh karena itu, Kang Arul menilai pentingnya komunikasi orang tua kepada anak, kakak kepada adik, atau sesama teman untuk saling mengingatkan dan mendorong penggunaan media sosial dalam hal yang positif.
“Komunikasi untuk meyakinkan bahwa di media sosial itu ini pasar ide bebas. Anda bisa mendapatkan banyak hal, bisa mendapatkan mulai dari yang positif dan negatif,” imbuhnya.
Penulis buku Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia) ini menambahkan, kondisi emosional seseorang berperan penting terhadap referensi yang dilihatnya. Terkadang, orang yang mengakses media sosial dalam situasi yang tidak normal, sehingga dengan logika waktu cepat, dia tidak dapat memfilter atau melakukan verifikasi informasi terhadap orang lain atau media massa. Ketika sudah mengakses suatu konten, seolah-olah itu adalah informasi yang benar. Hal inilah yang membuat maraknya hoaks dan misinformasi.
Discussion about this post