Selama ini, laporan yang pihaknya terima sesuai dengan data kunjungan yang dicatat oleh pengelola. Namun, pada kenyataannya terkadang terdapat perbedaan karena tidak semua pengunjung datang membeli tiket.
Pihak Disbudpar sendiri pun melakukan pendataan dengan memastikan jumlah pengunjung yang hadir. Menurut Usep, ke depannya diperlukan palang pintu otomatis hingga tiket online (E-ticket) agar dapat memberikan data real time.
Ia memaparkan, saat penekanan Perjanjian Kerjasama, pihaknya mempertanyakan terlebih dahulu kesanggupan dari pengelola dalam memberikan atau menentukan target.
“Jadi kita diskusikan dulu, berapa sanggupnya mereka menyetor ke kas daerah. Umumnya memang meningkat, tapi pas ada covid-19 kemarin memang tidak ada kunjungan. Karena memang harus ada pemasukan ke kas daerah, akhirnya mereka mengajukan permohonan penurunan, akhirnya beberapa waktu lalu mengalami penurunan,” jelasnya.
Saat ditanyakan terkait belum adanya dasar hukum pengelolaan destinasi wisata oleh pihak ketiga, ia menerangkan, hal tersebut dilakukan karena telah dilakukan kerjasama tersebut sejak lama. Namun, katanya, pihaknya akan segera mengubah mekanisme dengan senantiasa berkoordinasi bersama Bagian Hukum dan pihak-pihak terkait, dalam upaya memperbaiki pengelolaan yang berkaitan dengan pendapatan dan retribusi daerah.
“Kita akan terus upayakan agar tetap bisa meningkatkan pendapatan daerah namun juga tanpa menyalahi regulasi yang ditetapkan,” terangnya.
Ia menegaskan, pertanggungjawaban yang ditetapkan ialah ketika penargetan setoran tiap tahunnya telah disepakati bersama sejumlah sekian, maka pengelola harus menyetorkan langsung kepada Kas Daerah.
“Memang selalu dengan kesepakatan bersama, adapun kendalanya kemarin yakni pada masa pandemi dengan adanya permohonan penurunan setoran pun hasil pertimbangan dan kesepakatan bersama,” tandas Usep.(MYU/DZH/PBN)
Discussion about this post