Pertarungan antara PT PKP dengan masyarakat Pulau Sangiang juga terjadi pada tahun 2019. Saat itu, masyarakat Pulau Sangiang dihadapkan pada dugaan kriminalisasi warga. Tiga orang warga Pulau Sangiang yakni Masrijan, Lukman dan Mardaka yang dituding telah menggunakan lahan HGB PT PKP, untuk mendulang keuntungan sendiri. Ketiganya dituduh demikian karena menyewakan rumah milik mereka kepada wisatawan, dengan tarif sebesar Rp500 ribu per hari. Ketiganya divonis bersalah dengan hukuman empat bulan penjara tanpa penahanan.
Salah satu pihak yang getol menyuarakan pembebasan Pulau Sangiang ialah Pena Masyarakat. Di bawah kepemimpinan Mad Haer Effendi, Pena Masyarakat konsisten melakukan advokasi hingga saat ini. Perlahan tapi pasti, Mad Haer dan kawan-kawan menunggu momentum habisnya masa HGB PT PKP, untuk melakukan tekanan kepada pemerintah, agar tidak memperpanjang kondisi yang mereka sebut sebagai penjajahan terhadap Pulau Sangiang.
Pria yang akrab disapa Aeng ini saat ditemui di Basecamp Pena Masyarakat, menegaskan bahwa persoalan Pulau Sangiang bukan hanya persoalan tanah semata, melainkan juga eksistensi terhadap keberadaan masyarakat Pulau Sangiang, yang telah turun temurun menempati pulau yang sejarahnya merupakan pemberian Kesultanan Lampung.
Persoalan eksistensi itu muncul lantaran pada saat persidangan tiga warga Pulau Sangiang, pihak Perhutani yang dihadirkan sebagai saksi, menegasikan keberadaan masyarakat di Pulau Sangiang. Mereka hanya mengakui keberadaan Perhutani, TNI AL dan PT PKP saja.
“Jadi harus ada pengakuan bahwa di Pulau Sangiang itu ada masyarakat. Juga harus ada pengakuan bahwa di sana ada kehidupan, kehidupan warga Negara Republik Indonesia yang kebetulan tinggal di Pulau Sangiang,” ujarnya kepada BANPOS.
Ia menuturkan, klaim keberadaan PT PKP di Pulau Sangiang, adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal itu juga disebutkan oleh PT PKP dalam risalah persidangan PTUN sebelumnya. Namun ternyata, Aeng menegaskan bahwa tidak ada dampak apapun yang dirasakan oleh masyarakat, apalagi masyarakat Pulau Sangiang. “Malah yang ada justru mereka menunggak bayar Pajak Bumi dan Bangunan sejak 1997 kan,” tuturnya.
Discussion about this post