Selama masa ‘pendudukan’ PT PKP, masyarakat yang tinggal di sana perlahan-lahan mengalami pengusiran paksa. Mulai dari yang kasar, hingga menggunakan cara-cara halus. Banyak dari masyarakat Pulau Sangiang pun yang terpaksa hengkang dari pulau, dan pergi ke daratan, sebutan untuk wilayah di Pulau Jawa.
“Kalau zaman orde baru, pengusirannya dilakukan dengan cara yang keras. Makin ke sini makin halus, diiming-imingi uang yang sebenarnya tidak seberapa, sambil ditakut-takuti terkait dengan masalah hukum dan legalitas,” terangnya.
Menurut Ustad Pian, pemerintah saat ini tidak boleh menutup mata atas permasalahan Pulau Sangiang, dan memberikan restu perpanjangan HGB kepada PT PKP. Pasalnya, hampir 30 tahun PT PKP menguasai Pulau Sangiang, tidak memberikan dampak apapun kepada masyarakat. Yang ada menurut dia, malah merugikan masyarakat.
“Kami sudah 30 tahun itu menunggu-nunggu masa habisnya HGB PT PKP di Pulau Sangiang. Karena selama 30 tahun ini, mereka tidak membangun apa-apa di Pulau Sangiang. Adapun yang dibangun di persil HGB 23 menurut kami hanyalah kedok saja untuk menutupi kekurangan mereka yang tidak melakukan apa-apa. Paling berapa unit yang dibangun, itu juga karena ada teguran dari pemerintah,” tuturnya.
Oleh karena itu, Ustad Pian menegaskan bahwa seharusnya perpanjangan HGB milik PT PKP tidak perlu diperpanjang. Apalagi selain menelantarkan pulau, PT PKP juga tidak memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat, seperti yang sebelumnya dijanjikan, maupun memberikan pemasukan tambahan bagi pemerintah daerah.
“Cuma ya itulah hebatnya si perusahaan melakukan lobi di pusat, sampai sekarang meskipun tidak memberikan manfaat apa-apa dan sering membuat kegaduhan aja, tidak ada sanksi yang diberikan kepada mereka,” ungkapnya.
Ustad Pian pun memastikan bahwa tidak ada pembangunan apapun yang dilakukan oleh PT PKP pada lahan HGB 21 dan 24, yang luasnya mencapai hampir dua juta meter persegi. PT PKP hanya membangun pada lahan HGB 22 dan 23, itu pun menurutnya hanya sebagian kecil lahan saja yang dibangun. “Jadi kami sangat yakin kalau pembangunan di lahan HGB 22 dan 23 itu sebenarnya hanya kedok saja supaya tidak ditetapkan sebagai tanah terlantar,” tegasnya.
Discussion about this post