DALAM hitungan bulan, Hak Guna Bangunan (HGB) yang merupakan landasan PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) dalam menguasai Pulau Sangiang akan habis. Sebanyak empat sertifikat HGB yang dipegang oleh perusahaan itu akan habis tepat pada 9 Maret 2024. Namun, PT PKP masih memiliki kesempatan untuk memperpanjang penguasaannya terhadap pulau yang berada di antara Pulau Jawa dan Sumatera itu, maksimal selama 20 tahun ke depan. Lalu, apakah Pulau Sangiang akan kembali di bawah kekuasaan PT PKP, atau akan bebas dan kembali kepada negara dan masyarakat?
Pada Rabu (21/6) malam di Jakarta, tokoh masyarakat adat Cikoneng, termasuk mereka yang tinggal di Pulau Sangiang, melakukan pertemuan. Pertemuan tersebut membahas terkait dengan nasib Pulau Sangiang, dan momentum habisnya HGB PT PKP pada 9 Maret 2024 mendatang, yang dapat menjadi titik pembebasan pulau hibah Kesultanan Lampung kepada masyarakat Cikoneng pada abad ke-19.
Sofyan Sahuri, salah satu tokoh masyarakat dan pemimpin perlawanan masyarakat Pulau Sangiang, turut andil dalam pertemuan itu. Ustad Pian, panggilan akrabnya, mengatakan bahwa pertemuan yang dilakukan oleh para tokoh adat Cikoneng itu mengharapkan agar Pulau Sangiang dapat kembali lagi ke pangkuan masyarakat.
“Karena Pulau Sangiang itu berdasarkan sejarahnya, adalah pulau pemberian dari Kesultanan Banten kepada Kesultanan Lampung, yang dihibahkan kepada masyarakat Lampung yang tinggal di Banten atau di Cikoneng. Jadi Pulau Sangiang ini adalah tanah ulayat, tanah adat kami,” ujarnya kepada BANPOS.
Sejarah masyarakat yang tinggal di Pulau Sangiang pun tidaklah singkat. Ia menuturkan, masyarakat Pulau Sangiang telah mengalami banyak pahit getirnya kehidupan selama menempati pulau tersebut. Pertama kali menempati pulau itu sejak tahun 1930-an, masyarakat Pulau Sangiang pernah mengalami kerja paksa oleh tentara penjajahan Jepang.
“Kami sejarahnya pernah merasakan Romusa (kerja paksa) oleh Jepang, karena Pulau Sangiang pernah diduduki oleh tentara Jepang untuk menjadi markas pertahanan laut mereka. Di sini juga masih ada benteng Jepang. Hingga akhirnya pulau ini kembali ke masyarakat pada tahun 1950-an. Tapi ternyata pada tahun 1993, pulau kami ‘dibebaskan’ untuk dikuasai oleh PT PKP dan Perhutani,” ucapnya.
Discussion about this post