SERANG, BANPOS – Anggota Komisi I DPR RI, Rizki Aulia Rahman Natakusumah mengapresiasi kinerja Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Polri yang saat ini tengah mengusut kasus perdagangan orang. Ia menyatakan bahwa maraknya permasalahan ini dikarenakan masih minimnya lapangan pekerjaan di dalam negeri.
Menurutnya, penanganan kasus TPPO yang dilakukan pihak kepolisian, salah satunya yang saat ini tengah ditangani oleh Polres Pandeglang merupakan keseriusan dari Satuan Tugas (Satgas) TPPO Polri dalam menangani kasus tersebut.
Dengan keseriusan penanganan kasus TPPO tersebut, dan berhasil mengamankan 457 yang diduga menjadi pelaku perdagangan orang dan kejahatan perlindungan pekerja migran di seluruh Indonesia.
“Tentunya kami sangat mengapresiasi kinerja kepolisian yakni Satgas TPPO yang telah berhasil menyelamatkan 1.476 orang dan menetapkan 457 pelaku tindak pidana perdagangan orang dan kejahatan perlindungan pekerja migran di Indonesia,” kata Rizki kepada wartawan, pada Rabu (19/6).
Rizki menilai, kasus TPPO yang saat ini marak terjadi dikarenakan ada beberapa faktor salah satunya adalah tersedianya lapangan pekerjaan di dalam negeri yang sangat minim, sehingga membuat masyarakat mudah dirayu oleh para pelaku atau penyalur Migran ilegal yang mengiming-iming pekerjaan dengan gaji besar di luar negeri.
“Tentunya ada beberapa hal terkait maraknya kasus TPPO, salah satunya adalah ketersediaan lapangan pekerjaan di dalam negeri, sehingga memudahkan para pelaku atau calo migran ilegal untuk merayu masyarakat yang ingin bekerja diluar Negeri dengan iming-iming gaji besar,” terangnya.
Rizki juga meminta kepada Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia untuk memperketat pengawasan terhadap perusahan-perusahan penyalur tenaga kerja Indonesia agar pejuang devisa mendapatkan haknya yang layak dan mendapatkan perlindungan saat bekerja di luar negeri.
“Kami meminta Kemenaker atau BP2MI untuk mengetatkan perusahaan penyalur supaya tenaga kerja yang disalurkan dari Indonesia atau para pejuang devisa negara ini mendapatkan hak yang layak dan terlindungi saat bekerja,” jelasnya.
Rizki juga menghimbau, kepada masyarakat jangan tergiur dengan rayuan para calo imigran ilegal yang menawarkan pekerjaan di luar negeri dengan gaji besar dan hendaknya memilih perusahaan atau penyalur tenaga kerja indonesia yang legal dan bisa menghubungi Dinas Ketenagakerjaan di daerahnya masing-masing.
“Kalau ilegal itu sulit di advokasi jika terjadi persoalan hak-hak ketenagakerjaan. Mengingat di Dapil saya cukup berpotensi untuk menjadi TKI sehingga suka kelolosan sama yang penyalur ilegal ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Polda Banten kembali mengungkap kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terjadi di Kota Tangerang dan Kota Cilegon.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan, Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Didik Hariyanto mengatakan bahwa dalam kasus ini, setidaknya menyerat empat orang pelaku.
Para pelaku di antaranya berinisial SL, MN, KH, dan RI. Sedangkan korban yang berhasil diamankan oleh pihak kepolisian dalam kasus itu berjumlah tiga orang di antaranya KT, ST, dan NS.
Didik Hariyanto menjelaskan modus operandi yang digunakan oleh para pelaku masih sama dengan kasus sebelumnya, yakni mengiming-imingi para korban sebuah pekerjaan dengan gaji yang besar di luar negeri.
“Modus operandi seperti yang sebelumnya yaitu memberikan atau menjanjikan atau iming-iming dengan gaji besar ternyata dalam pelaksanaannya ini justru sebaliknya. Bahkan dijanjikan pada saat korban mau pulang atau kembali ke tanah air, pihak dari yang memberangkatkan terkait dengan pekerja migran Indonesia ini tidak memberikan bantuan,” terang Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Didik Hariyanto pada Rabu (21/6).
Selain itu Didik juga mengungkapkan dalam kasus itu, rupanya salah satu agen memiliki legalitas dalam penyaluran tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.
Hanya saja dalam praktiknya, Didik mengungkapkan, agen penyalur tersebut dinilai tidak transparan dalam memberikan keterangan mengenai tugas dan upah pekerjaan di sana.
“Yang di Polresta Tangerang, mereka secara legalitas izinnya ada, tapi perlakuan atau yang dilakukan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Jadi perizinannya ada, tapi kalau yang di Cilegon tadi, perizinannya tidak ada,” imbuhnya.
Meski memiliki izin yang legal, Kasat Reskrim Polresta Tangerang Kompol Arief menambahkan, namun jika pada praktiknya ternyata ilegal maka hal itu bisa masuk dalam kategori eksploitasi.
“Baik walaupun legal, tapi pada pelaksanaannya ilegal itu termasuk kepada eksploitasi,” terangnya.
“Karena memberikan informasi yang tidak sempurna, baik penempatan, baik gaji, baik jam kerja, itu semua dilindungi oleh Undang-Undang,” tambahnya.
Umumnya pada korban Pekerja Migran Ilegal (PMI) disalurkan oleh agen-agen penyalur tersebut ke kawasan Timur Tengah seperi Qatar, Dubai, dan juga Arab Saudi.
Kemudian dijelaskan juga, setiap satu orang korban yang berhasil diberangkatkan sebagai Pekerja Migran Ilegal (PMI), pelaku berhasil mendapatkan keuntungan hingga Rp22 juta.
“Terkait keuntungan dari pemeriksaan awal untuk di Polresta Tangerang bisa sampai Rp22 juta, sementara yang di Cilegon Rp6-Rp15 juta keuntungan dari pemberangkatan per satu orang,” terangnya.
Sementara itu berdasarkan pengakuan dari salah seorang korban TPPO berinisial NS (25) mengaku, selama lima bulan ia bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di Timur Tengah, dirinya tidak menerima upah yang dijanjikan oleh agen yang memberangkatkannya.
“Saya dijanjikan uang sebelumnya untuk berangkat itu Rp10 juta, nah saya cuman menerima Rp4 juta. Setelah itu selama lima bulan saya bekerja di sana tidak mendapatkan gaji sama sekali,” ujarnya.
“Gaji yang dijanjikan itu 2.500 real sebesar Rp7,5 juta pada akhirnya saya bekerja di sana selama lima bulan saya bekerja di sana, tidak mendapatkan sepeser pun gaji sama sekali,” tandasnya.
Atas perbuatannya itu para pelaku terancam dijerat dengan Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo Pasal 81 Jo 886 huruf B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman pidana minimal tiga tahun hingga 15 tahun penjara.(MG-01/DHE/PBN)
Discussion about this post