Berdasarkan Interparliamentary Union (IPU) di tingkat ASEAN, Indonesia menempati peringkat keenam. Keterwakilan perempuan yang berada di parlemen Indonesia berada di bawah 20% tepatnya 19,8%. Bila dibandingkan dengan rata-rata dunia, proporsi wanita dalam parlemen di Indonesia masih jauh tertinggal. Berdasarkan data yang dihimpun KPU tentang penetapan anggota Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu Pusat, keterwakilan perempuan pada periode 2017-2022 belum mencapai batas minimal 30%. Berikut data komisioner KPU berdasarkan SK KPU Nomor: 511/PP.06- Pu/05/KPU/V/2018 tentang penetapan anggota KPU Provinsi Periode 2018-2023 dan SK No: 588/PP.06-Pu/05/KPU/VI/2018 tentang penetapan anggota KPU Kota dan Kabupaten Periode 2018-2023. Komisioner KPU Pusat periode 2017-2022: 6 laki-laki (85,7 %) dan 1 perempuan (14,3%). Komisioner KPU Provinsi 2017-2022: 146 laki-laki (78,9%) dan 39 perempuan (21,1%). Komisioner KPU Kabupaten/Kota perioed 2017-2022: 2.101 laki-laki (82,7%) dan 441 perempuan (17,3%).
Komisioner Bawaslu pada periode 2017-2022 pun kurang lebih serupa. Komisioner Bawaslu Pusat 2017-2022: 4 laki-laki (80%) dan 1 perempuan (20%). Komisioner Bawaslu Provinsi 2018-2023: 150 laki-laki (79,8%) dan 38 perempuan (20,2%). Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota periode 2018-2023: 1.599 laki-laki (83,5%) dan 315 perempuan (16,5%). Berdasarkan jumlah dari total presentase Komisioner KPU dan Bawaslu dapat disimpulkan bahwa keterwakilan perempuan di ranah penyelenggara pemilu kurang dari 30%, bahkan tidak sampai 25%. Selain itu keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia hanya memenuhi kuota 20%.
Menurut penulis, sebenarnya upaya pemerintah untuk menempatkan perempuan dalam dunia politik di Indonesia sudah sangat bagus. Namun implementasinya masih hanya sekedar formalitas. Masih sebatas hanya untuk memenuhi proses dan mekanisme saja, Padahal jika mereka dipercaya, penulis yakin banyak perempuan-perempuan hebat yang memiliki kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan serta wawasan yang bagus. Namun yang terjadi saat ini, belum banyak yang memberinya kepercayaan. Kalau pun ada, masih sekedar sebagai pelengkap atau formalitas untuk memenuhi regulasi saja. Jadi, bagaimana kedudukan kuota 30%? Apakah kewajiban, tuntutan atau formalitas saja? Kurangnya representasi perempuan dalam kancah politik di Indonesia harusnya hal ini menjadi perhatian penting yang harus diperhatikan oleh semua lini.
Discussion about this post