LEBAK, BANPOS - Penanganan Kasus Kekerasan dan Pelecehan terhadap anak dan perempuan di Kabupaten Lebak jarang diketahui oleh publik. Kebanyakan dari masyarakat hanya mengetahui ketika pelaporan atau ada temuan kasus baru yang dipublikasikan oleh Aparat Penegak Hukum ataupun media massa. Sedangkan untuk penanganan, pendampingan hingga pemenuhan hak-hak korban jarang sekali ada yang mengerti bahkan mengetahui tentang hal tersebut. Diketahui, dalam pemenuhan hak korban, anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memiliki hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh korban seperti restitusi dan layanan pemulihan, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial. Dalam kasus tersebut, BANPOS mendapatkan pengakuan dari salah satu keluarga korban yang mengalami pelecehan seksual. Kasus tersebut terjadi di Panggarangan, Lebak, pada tahun 2022 yang menimpa anak dibawah umur atau lebih tepatnya usia Sekolah Dasar. Salah satu Paman Korban, Agus mengatakan, korban tersebut sama sekali belum mendapatkan pemenuhan haknya hingga saat ini. Ia mengaku tidak begitu paham dengan mekanisme ataupun hak yang harus dipenuhi terhadap korban. "Betul sekali, tolong dah di bantu kalo memang masih ada hak korban. Sampai sekarang tidak ada konfirmasi dari UPTD PPA ke pihak korban," kata Agus saat dikonfirmasi BANPOS melalui panggilan telepon, Selasa (7/3). Agus menjelaskan, pada saat korban melakukan pelaporan kepada pihak kepolisian, pihak UPTD PPA Lebak datang menghampiri. Kemudian, korban beserta ibu dan pamannya (Agus) diajak ke Rumah Perlindungan PPA Lebak dan diberi makan dan salin untuk korban salah satunya sandal dan selimut. Keesokan harinya, korban beserta pendamping melakukan visum ke RSUD Adjidarmo Rangkasbitung. "Nah pulangnya kami di antar sampai ke Pasar Kijalu," jelasnya. Ia menerangkan, dua hari sebelum sidang terkait kasus korban Kepala UPTD menelepon kepada pihak korban akan mendampingi dengan menjemput dan mengantar korban beserta pendampingnya.<!--nextpage--> "Tapi kenyataannya tidak, jangankan dijemput, diantar pulang aja engga," jelasnya. Setelah serangkaian sidang dilakukan, Agus kemudian mencoba menghubungi pihak UPTD PPA untuk mempertanyakan keputusan pengadilan terkait hukuman untuk pelaku. Lebih dari seminggu semenjak menghubungi Kepala UPTD PPA, pihak korban tak kunjung mendapatkan jawaban. Hingga akhirnya, pihak keluarga mengetahui hukuman yang ditetapkan bagi pelaku yakni 9 tahun 6 bulan pidana. "Rilis tersebut kami kirim ke ibu Puji (Kepala UPTD PPA). Namun, hingga saat ini jangankan diberi apa-apa. Kabar saja yang kami tunggu-tunggu tidak ada," ujarnya. "Padahal sebelumnya si Ibu (Kepala UPTD) bilang jangan khawatir soal sidang, makan dikasih, akan diantar-jemput, dan bilang 'asal ada uang buat bapak ngerokok sendiri aja' begitu," lanjutnya. Ia memaparkan, korban serta pihak keluarga seolah dilepas tangan setelah terakhir kali ada di rumah perlindungan PPA. Bahkan, korban tidak mendapatkan pendampingan psikologis sejak pertama kali kasus tersebut dilaporkan. Saat ini, katanya, kondisi korban mengalami trauma berat dengan kadang kala sering melamun dengan waktu yang lama. "Kadang mah kalo bahasa sininya suka jental-jentul si korban. Karena kasihan, kami memindahkan korban ke daerah lain dan dititipkan ke pondok," paparnya. "Ya kami mohon kepada para pemangku jabatan jika memang masih ada hak untuk korban yang belum dipenuhi tolong berikan demi kebaikan korban juga," tandasnya. Diberitakan sebelumnya, Ketua Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Intan Rosedyana menerangkan, sampai saat ini terdapat satu kasus yang dimana korban belum mendapatkan haknya dari UPTD PPA Lebak. Kasus tersebut terjadi di Panggarangan, Lebak bagian Selatan. Korban yang masih duduk di Sekolah Dasar tersebut belum dipenuhi haknya hingga saat dini diketahui perilaku korban berubah karena mengalami trauma berat. "Kasus tersebut terjadi sejak 2022 silam dan masih kami kawal, tapi sampai saat ini masih belum diberikan haknya," terangnya. Ia memaparkan, saat dirinya mempertanyakan kepada Pihak UPTD PPA tentang hak Korban, UPTD mengkonfirmasi bahwa telah diberikan bimbingan. Namun, saat dirinya mengkonfirmasi kepada pihak keluarga, mereka mengaku belum mendapatkannya.<!--nextpage--> "Kasihan korban sampai berubah perilakunya," ujar Intan.(CR-01/PBN)
Discussion about this post