JAKARTA, BANPOS - Kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) kembali muncul pada 25 Januari 2023, usai nihil sejak awal Desember 2022. Akibatnya, seorang anak berusia 1 tahun meninggal pada 1 Februari 2023. Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani menilai, Pemerintah kecolongan lagi soal kasus GGAPA. “Selama ini penanganan serta pengusutan kasus tersebut belum sampai ke akar-akarnya,” ucap politikus PKS ini. Jika penyebab kasus baru ini adalah cemaran obat lagi, pihaknya tidak bisa membayangkan berapa banyak obat tercemar yang beredar di masyarakat. Padahal, Pemerintah sudah diminta membentuk tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) untuk mengusut kasus gangguan ginjal akut ini. “Harus ada evaluasi menyeluruh dari sisi pengawasan obat maupun fungsi lembaga-lembaga terkait,” pinta dia. Dia bilang, evaluasi menyelu¬ruh ini mendesak dilakukan agar tidak ada lagi kasus serupa yang menelan korban. Karena, bisa jadi ada kesalahan sistemik yang harus segera dibenahi terkait peredaran obat tersebut. Untuk itu, Netty meminta agar lembaga Pemerintah yang ber¬wenang tidak lepas tangan dan berani untuk bertangung jawab. Mereka sudah dibekali tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) dan anggaran untuk mencegah hal semacam itu terjadi. Selain itu, Netty mendesak Polri menuntaskan penyelidikan secara transparan, akurat, jangan setengah-setengah, dan bongkar sampai ke akar-akarnya. “Jika ditemukan pelanggaran, maka harus diproses dan ditin¬dak sesuai hukum,” tegasnya. Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago meminta Kementerian Kesehatan (Ke¬menkes) dan Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) kompak dalam menyelesaikan persoalan gagal ginjal akut ini. Kedua lembaga Pemerin¬tah itu selalu tak sejalan soal penanganan penyakit. Salah satunya, soal penentuan obat sirup yang layak atau tak layak dikonsumsi. “Malu dengan rakyat kalau selalu bertolak belakang. Jangan permalukan Presiden, Pemerin¬tah, dan diri sendiri,” ujar Irma di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Irma mengaku tak percaya dengan hasil uji lab BPOM dan Kemenkes soal obat yang layak dikonsumsi. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin kudu menggunakan lab independen dan diakui dunia internasional untuk menguji sampel obat sirup yang beredar di pasaran. “Supaya kami semua di Komisi IX DPR percaya hasilnya,” ucapnya. Sementara, Juru Bicara Ke¬menkes Mohammad Syahril memastikan, satu pasien ga¬gal ginjal di DKI Jakarta dan satu pasien di Kota Surakarta, Jawa Tengah, negatif GGAPA. Mereka telah melalui pemerik¬saan intensif. “Keduanya bukan pasien terkonfirmasi GGAPA,” ujarnya. Syahril menjelaskan, satu kasus suspek di Jakarta yang dinyatakan negatif GGAPA itu sebelumnya merupakan pasien berusia 10 tahun yang dilapor¬kan mengalami demam pada 26 Januari. Pasien tersebut juga memiliki keluhan tidak bisa buang air kecil. Sementara, satu pasien lain¬nya yang dirawat di RSUD Dr Moewardo, Solo tidak terma¬suk ke dalam kategori GGAPA karena mengalami gagal ginjal yang disebabkan oleh penyakit bawaan. Hanya ada satu kasus yang dikonfirmasi GGAPA. Kasus itu merupakan anak berusia satu tahun yang telah dinyatakan meninggal dunia pada 1 Februari 2023. Anak tersebut memiliki riwayat kon-sumsi obat sirup penurun demam yang dibeli di apotek dengan merek Praxion. Syahril menambahkan, Ke¬menkes telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, BPOM, epidemiolog, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan ahli farmakologi. Koordinasi ini guna menelusuri penyebab pasti dan faktor risiko penyebab GGAPA. “Hasil pemeriksaan dari pengambilan sampel RSCM yang dilakukan di Labkesda DKI Jakarta menunjukkan, pasien mengonsumsi obat dengan cemaran EG maupun DEG melebihi ambang batas aman,” jelasnya. Dengan demikian, Syahril mengimbau masyarakat tetap berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter atau apoteker saat akan mengonsumsi obat. “Masyarakat juga diminta selalu membeli dan memperoleh obat di sarana resmi, yaitu apo¬tek atau fasilitas pelayanan kesehatan,” pungkasnya. (RMID)<!--nextpage-->
Discussion about this post