JAKARTA, BANPOS - Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto menyoroti melonjaknya angka kemiskinan di saat kinerja ekspor mengalami peningkatan di tahun 2022. Meningkatnya ekspor ternyata belum berdampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat. Darmadi menjelaskan, peningkatan kinerja ekspor pada tahun 2022 bisa dilihat dari ca¬paian neraca dagang Indonesia yang mengalami surplus hingga 54,64 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Surplus tersebut salah satunya ditopang oleh kenaikan sejumlah harga komoditas di pasar dunia. Seperti batubara, minyak sawit, bauksit, bijih besi, nikel, dan lainnya. Sayangnya, capaian positif ini berbanding terbalik dengan jumlah angka kemiskinan yang terus mengalami peningkatan. Ini menunjukkan, kenaikan ekspor komoditas tersebut hanya dinikmati segelintir kelompok saja. “Jelas ada yang keliru. Aneh kalau rakyat masih miskin, se¬mentara para taipan komoditas menikmati hasil yang berlimpah. Kondisi ini juga menyiratkan bahwa sektor ekonomi kita di¬kuasai oligarki,” ujar Darmadi di Jakarta, kemarin. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir angka kemiskinan di sejumlah daerah atau provinsi penghasil komo¬ditas seperti pulau Kaliman¬tan, Maluku, Papua, Sulawesi justru naik. Sementara Sumatera, angka kemiskinan turun 9,49 persen pada Maret 2022 dan 9,47 persen pada September 2022. Darmadi menduga, meningkatnya angka kemiskinan di balik capaian positif komoditas tidak terlepas dari pola bagi ha¬sil keuntungan komoditas yang tak transparan. Karena itu, dia mendorong dilakukaan kajian atas kontribusi para pengusaha komoditas ke daerah penghasil. Apakah kontribusinya man¬dek di para pejabat daerah dan tidak dikucurkan ke rakyatnya atau faktor lainnya. “Ini yang perlu ditelaah,” jelas Politisi Fraksi PDI Perjuangan yang juga Ascociate Profesor ini. Darmadi menilai, tidak mengalirnya limpahan kenai¬kan harga komoditas global ke masyarakat bawah karena se¬lama ini pola pemerataan tidak berjalan efektif. Distribusi eko¬nomi dan rantai pasok yang tak terkonsolidasi dengan maksimal menjadi pemicu di balik naiknya angka kemiskinan. “Rantai pasok hanya dikuasai segelintir kelompok dan bisa juga ada monopoli. Trickle down effect (tetesan ke bawah) tak dapat dirasakan masyarakat kalangan bawah. Sehingga, output-nya angka kemiskinan bertambah,” jelas pakar ekonomi dari Wiyata¬mandala Business School itu. Politisi banteng daerah pe¬milihan DKI Jakarta ini juga tidak menampik naiknya angka kemiskinan tak terlepas dari kondisi global maupun domestik yang kurang bersahabat. Belum lagi badai pandemi Covid-19 ditambah lagi inflasi imbas kenaikan harga BBM. “Ten¬tunya menyebabkan daya beli masyarakat melemah,” jelasnya. Namun demikian, Darmadi yakin kondisi tersebut bisa di¬minimalisir jika saja negara sedari awal berpedoman pada konsep ekonomi yang digagas Bung Karno. Untuk itu, ga¬gasan pembangunan semesta berencana yang digagas Bung Karno mesti menjadi panduan Pemerintah dalam menjalankan perekonomian. “Jika itu jadi panduan utama, tidak ada lagi kita dengar angka kemiskinan naik. Justru kesejahteraan akan naik karena model pembangunan dititikberatkan berdasarkan prinsip kegotongroyongan. Satu sama lain saling topang bukan saling injak,” lanjut Bendahara Megawati Institute itu.(RMID)<!--nextpage-->
Discussion about this post