JAKARTA, BANPOS-Ombudsman menyebut, ada kelalaian dari Kemenkes dan BPOM terkait peristiwa gagal ginjal akut pada anak. Selain itu, Ombudsman juga mendesak Pemerintah untuk segera menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) pada peristiwa tersebut.
Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, lonjakan kasus gagal ginjal akut pada anak beberapa waktu terakhir ini perlu ketegasan Pemerintah untuk menetapkannya sebagai KLB.
“Memang dalam UU Wabah Penyakit Menular dan Permenkes ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebagai KLB, namun Pemerintah juga harus membaca UU ini tidak hanya tekstual saja namun juga filosofi kebijakan dan kondisi di masyarakat,” tegas Robert dalam jumpa pers secara daring di Kantor Ombudsman Jakarta dikutip, Selasa (25/10).
Robert mengatakan, kasus gagal ginjal akut ini merupakan darurat kesehatan yang penanganannya harus terpadu, sehingga perlu penetapan status KLB. Dengan penetapan KLB, maka menurut Robert penanganan gagal ginjal akut akan lebih terkoordinasi dengan baik.
Selain itu, perlu dibentuk tim satuan tugas khusus untuk penanganan kasus gagal ginjal akut ini.
Robert menambahkan, dengan ditetapkannya status KLB, diharapkan dapat terpenuhinya Standar Pelayanan Publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium hingga Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
“Selain itu diharapkan dapat terwujud koordinasi dan sinergi dengan Pemerintah Daerah dan BPJS Kesehatan terkait pembiayaan pasien,” imbuhnya.
Ombudsman berharap sosialisasi dalam rangka pencegahan kasus gagal ginjal akut pada anak dapat dilakukan hingga tingkat desa.
Menurut Robert, masyarakat berhak akan informasi terkait penanganan kasus gagal ginjal akut hingga pencegahannya. Hingga saat ini Pemerintah belum memberikan penjelasan yang menyeluruh mengenai penyebab gagal ginjal akut pada anak.
Pada penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak ini, Ombudsman menemukan potensi maladministrasi yang dilakukan Kemenkes di antaranya belum adanya data pokok terkait sebaran kasus baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat.
“Sehingga menyebabkan terjadinya kelalaian dalam pencegahan atau mitigasi kasus ini,” ujar Robert.
Di samping itu, Ombudsman menemukan ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak oleh seluruh pusat pelayanan kesehatan baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL).
Sehingga menyebabkan belum terpenuhi Standar Pelayanan Publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium.
Tak hanya Kemenkes, Ombudsman juga menyoroti adanya kelalaian dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam pengawasan premarket (proses sebelum obat didistribusikan dan diedarkan) dan postmarket control (pengawasan setelah produk beredar).
Pada tahap premarket, Ombudsman menilai, bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi (uji mandiri).
Robert menekankan, bahwa peran pengawasan BPOM harus lebih aktif dengan melakukan uji petik terhadap sejumlah produk farmasi.
Ombudsman menilai bahwa terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan.
Selain itu, Robert menegaskan, BPOM wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.
Pada tahap postmarket control, Ombudsman menilai bahwa dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM pasca pemberian izin edar.
“BPOM perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar,” tegas Robert.
Ombudsman berkomitmen untuk melaksanakan pengawasan dengan melakukan sidak di beberapa tempat seperti fasilitas kesehatan maupun perusahaan produsen farmasi serta pemanggilan para pihak terkait untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi.(PBN/RMID)
Discussion about this post