SERANG, BANPOS – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) akan mengadukan persoalan dugaan korupsi baiaya operasional (BOP) Gubernur Banten dan wakilnya periode 2017-2022 sebesar Rp57 miliar ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jika Kejaksaan Tinggi (Kejati) tidak juga menuntaskan laporannya tersebut.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman dihubungi melalui telpon genggamnya, Kamis (16/6) menegaakan, pihaknya memberikan warning atau peringatan Kepada Kejati Banten, jika dalam kurun waktu dua bulan setengah kedepan, persoalan dugaan korupsi puluhan miliar, WH dan AA tidak kunjung ada kejelasan, pihaknya dengan terpaksa menyampaikan dugaan korupsi ke KPK.
“Agustus (dilaporkan ke KPK),” kata Boyamin saat ditanya batas waktu proses penyelidikan dugaan korupsi BOP WH- AA dalam rentang kurun tahun 2017 sampai 2021 tersebut.
Alasan pelaporan ke KPK atas dugaan puluhan miliar rupiah yang digunakan tak sesuai degan peraturan perundang-undangan tersebut, agar publik mengetahui kondisi sebenarnya.
“Nanti melihat Sikon (situasi dan kondisi ” ujar seraya mengatakan jika pelaporan ke Kejati Banten atas dugaan korusp Rp57 miliar sudah disampaikan ke Kejati Banten sejak tanggal 14 Februari lalu.
Sebelumnya, Boyamin Saiman menyebutkan, anggaran operasional WH-AA diduga tidak tertib administrasi dan tidak dibuat laporan pertanggungjawabannya.“Biaya Penunjang Operasional Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Banten diduga telah dicairkan dan dipergunakan secara maksimal jumlah pencairannya namun diduga tidak dibuat SPJ (surat pertanggungjawaban) yang kredibel,” katanya.
Apapun perhitungannya, biaya operasional WH-Andika , terhitung dari tahun 2017 hingga 2021 adalah senilai Rp57 miliar.
“Biaya penunjang operasional yang diberikan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur (WH) besarannya yaitu 65 persen untuk, dan Wakil Gubernur (AA) dan 35 persen,” katanya.
Diungkapkannya, biaya penunjang operasional tersebut tidak dapat digolongkan sebagai honorarium atau tambahan penghasilan, sehingga penggunaannya harus dipertanggungjawabkan melalui SPJ yang sesuai peruntukannya. Patut diduga biaya penunjang operasional tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan dianggap sebagai honor (take home pay), dan dan tidak dipertanggungjawabkan dengan SPJ yang sah dan lengkap, sehingga dikategorikan sebagai dugaan tindak pidana korupsi.
“Sehingga diduga melawan hukum dan diduga merugikan keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 tahun 2001, Ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,” ungkapnya.
Discussion about this post