Sebagai contoh, Dadan menuturkan ketika terdapat pencatatan kas sebesar Rp5 miliar, maka harus dirinci ada di bank mana saja uang itu, berapa cash on hand dan petty cash-nya. Hal itu yang dalam laporan keuangan disebut sebagai bukti pendukung atau supporting document.
“Kalau kita berbicara kebenaran, selain dengan antara pelaporan sudah sesuai dengan dokumen bukti pendukungnya, juga ada plusnya. Plusnya itu harus bisa dipertanggungjawabkan secara pribadi, secara entitas dan kepada Tuhan yang Maha Esa,” terangnya.
Menurutnya, jika publik mempertanyakan mengapa suatu daerah telah mendapatkan opini WTP namun tetap terjadi fraud atau korupsi, hal itu wajar. Sebab secara teoritis maupun pragmatis, opini WTP hanya menilai kewajaran suatu laporan keuangan saja.
“Sehingga ketika ada yang berkata ‘kenapa kok WTP tidak menjamin sebuah entitas itu benar’, ya iyalah tidak menjamin karena yang dinilai adalah kewajaran bukan kebenaran. Karena hakikat dari keilmuan itu kewajaran, bukan kebenaran. Wajar sesuai dengan framework kemanusiaan. Kalau kebenaran kita kembalikan kepada hati nurani orang dan pejabatnya,” tutur dia.
Bahkan menurut Dadan, tidak ada aturan baku mengenai pemberian opini wajar terhadap suatu laporan keuangan yang masih terdapat temuan. Menurutnya, tidak ada besaran persentase temuan suatu laporan keuangan dapat dikatakan wajar maupun tidak wajar.
“Kalau berbicara ketentuan Standar Akuntansi Pemerintahan maupun Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 itu tidak berbicara mengenai berapa persen, tidak ada persentasenya. Yang pasti mereka berbicara harus antara data yang disajikan dengan dokumen-dokumen itu harus sama,” ucapnya.
Kendati demikian, Dadan mengatakan dalam praktiknya auditor terkadang menentukan sendiri persentase kewajaran temuan suatu laporan keuangan. Sehingga, penilaian itu akan dikembalikan kepada masing-masing auditor.
“Tapi itu bukan harga mati, karena dalam aturan tidak ada. Cuma ada beberapa kasus proses dari auditor itu menetapkan 80 persen sudah WTP. Di bawah itu akan WDP. Nah di bawah 50 persen itu ada pertimbangan apakah tidak wajar atau bahkan tidak berpendapat,” katanya.
Discussion about this post