Karenanya hal itu terus melekat pada cultural heritage dan juga living culture. Bahkan lanjutnya, sampai hari ini, warga Baduy di Banten Selatan menggunakan istilah “Sunda Wiwitan” untuk menyebut agama atau kepercayaan yang berasal dari leluhurnya.
Maka wajar apabila dalam komunikasi lintas etnik, baik di level nasional dan kerap di level internasional, seperti pernah diselenggarakan di Bandung bertajuk Konferensi Internasional Budaya Sunda, orang Sunda, seperti juga seseorang asal grup etnik lain, tidak dapat melepaskan ikatan kultural dengan motherland-nya.
“Tentu kita bangga memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, tetapi terkadang ada idiom lokal yang tidak ada padanan katanya secara persis, atau terkadang untuk menghaluskan bahasa, sesekali, orang perlu melengkapi narasinya dengan bahasa ibu, dan itu tidak ada larangan selama idiom itu dijelaskan maknanya,” papar Ali.
Jadi apabila dibilang berbahasa Sunda itu menakutkan, mungkin perlu menggunakan diksi yang lazim dan jelas. Agar tidak dibilang alogis dan ahistoris.
“Untuk praktisnya mungkin perlu membaca Ensiklopedi Sunda. Saran saya, siapapun di negeri ini, apalagi yang sedang berada di pusat kekuasaan, mesti punya niatan untuk memahami keberagaman budaya di Nusantara dalam semangat multikultural,” tegas Ali lagi.
Masih menurut dia, Presiden Jokowi sudah mencontohkan keberagaman itu melalui pakaian khas daerah pada event-event resmi kenegaraan. Itu juga simbol kekayaan etnik Indonesia yang perlu diteladani bersama.(RUS)
Discussion about this post