“Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp 56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp 19 triliun,” ungkap Kurnia.
Terpisah, pakar hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menyebut, hukuman mati selama ini belum terbukti memberikan efek jera bagi para koruptor. Seharusnya dalam penegakan hukum kasus korupsi, fokus utamanya adalah pengembalian kerugian dan lebih baik hukuman seumur hidup.
“Keterkaitan hukuman mati dan efek jera memang belum bisa dibuktikan. Seharusnya memang dalam korupsi, fokus utamanya adalah pengembalian kerugian daripada hukuman mati. Hukuman seumur hidup atau 20 tahun juga cukup,” ucap Akbar.
Dia mengutarakan, pada proses peradilan pidana memang merupakan bentuk pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, penyitaan dan penahanan itu juga diperbolehkan.
“Jika keberatan sudah disediakan mekanisme praperadilan atau mekanisme keberatan sebagai pihak ketiga,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, Jaksa Agung ST Burhanuddin memerintahkan jajarannya untuk mengkaji hukuman mati bagi para pelaku perkara tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Hal tersebut disampaikan Jaksa Agung saat memberikan briefing kepada Kajati, Wakajati, para Kajari dan Kacabjari, di Kalimantan Tengah, Kamis (28/10) lalu.
“Sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud,” ucap Burhanuddin dalam keterangannya.
Meski demikian, kajian itu harus tetap mempertimbangkan dan memperhatikan hukum positif yang berlaku serta nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Terlebih juga, harus memastikan perampasan terhadap harta kekayaan para pelaku korupsi, demi menggantikan kerugian negara.
“Agar hasil rampasan juga dapat bermanfaat langsung dan adanya kepastian baik terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat yang terdampak korban dari kejahatan korupsi,” pungkas Burhanuddin.(ENK/JPG)
Discussion about this post