Menurutnya, belajar dari tren kasus yang meningkat, penting untuk menganalisis momentum yang tepat untuk pembukaan bertahap. Selain mempertimbangkan data kasus positif dan BOR, juga perlu diperhatikan laju reproduksi efektif (Rt). Angka ini menunjukkan rata-rata jumlah kasus yang dapat terjadi dari satu orang positif dalam kurun waktu tertentu.
Pada saat lonjakan kasus kedua, Rt nasional adalah 1,41. Saat ini, Rt nasional adalah 0,70. Nilai Rt kurang dari 1 menunjukkan potensi penularan yang rendah di masyarakat.
“Oleh karena itu, diharapkan kegiatan dapat dilanjutkan kembali, meski dengan kewaspadaan penuh. Langkah-langkah pengendalian juga sedang disiapkan dengan mempelajari pola peningkatan kasus sebelumnya,” katanya secara daring baru-baru ini.
Seperti peningkatan kasus, terjadi 2 minggu paska periode Idul Fitri 2020. Kasus meningkat 214 persen dan berlangsung selama 7 pekan, meski bisa ditekan dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah.
Namun peningkatan serupa terjadi lagi pada 2 minggu setelah libur bersama Maulid Nabi, Natal, dan Tahun Baru 2021. Peningkatan ini terjadi saat pemerintah menerapkan kebijakan PSBB transisi. Pada periode ini, kasus meningkat selama 13 minggu hingga mencapai puncak pertama dengan peningkatan 389 persen kasus lebih tinggi.
Lalu, di tahun 2021, kasus sempat mencapai titik terendah pada 10 Mei. Namun, peningkatan kasus kembali terjadi 3 minggu setelah libur Idul Fitri. Meskipun saat itu kebijakan penghapusan mudik telah ditetapkan.
Adanya varian Delta memicu lonjakan kasus yang sangat signifikan hingga mencapai puncak kasus kedua, sebesar 880 persen lebih tinggi dibandingkan titik kasus terendah.
“Melihat ke belakang, peningkatan kasus tidak terlepas dari peningkatan aktivitas dan mobilitas masyarakat selama masa liburan. Maka penting untuk selalu memastikan semuanya terkendali,” kata Prof Wiku.(ENK/JPG)
Discussion about this post