LEBAK, BANPOS – Sekelompok aktivis di Kabupaten Lebak menggelar aksi unjuk rasa menolak perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Kabupaten Lebak. Mereka juga menyoroti anggaran penanganan Covid-19 yang dianilai tidak transparan. Namun, aksi dibubarkan aparat keamanan sebelum mereka sempat melakukan orasi. Dalam aksi yang diikuti puluhan aktivis mahasiwa di depan Pendopo Bupati Lebak, Senin (26/7), massa sempat membagikan selebaran yang berisi tentang pernyataan sikap menolak PPKM. Dalam selebaran itu disebutkan, beragam kebijakan pemerintah tak memberikan efek perbaikan dalam penanganan pandemi. “Sudah setahun setengah lamanya pandemi Covid-19 melanda Indonesia, beragam kebijakan baik daerah maupun pusat lahir sebagai upaya untuk menekan laju penularan, akan tetapi kebijakan yang dibuat tidak memberikan efek perubahan selama diberlakukannya kebijakan seperti PSBB, PPKM Mikro dan PPKM Darurat Hingga PPKM Level diterapkan,” kata Koordinator Aksi, Nukman Paluti, kemarin. Nukman juga menilai, sejak diberlakukan PPKM Darurat pada 3 Juli hingga saat ini, banyak reaksi penolakan muncul dari masyarakat di daerah-daerah terkait pelaksanaan kebijakan yang banyak merugikan pelaku usaha mikro. Apalagi, ada bentuk kesewenang-wenangan aparat dalam penindakan serta penanganan yang dirasa belum efektif di Indonesia. Di Lebak, lanjut Nukman, pemerintah daerah merespon kebijakan PPKM Darurat yang lahir dari pemerintah pusat dengan mengeluarkan Intruksi Bupati Lebak Nomor 9 Tahun 2021 yang semua kebijakan itu didasari Undang undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. “Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan,” tudingnya. Dalam pernyataannya, para aktivis mengutip UU Kekarantian Kesehatan Pasal 55 ayat 1 yang menyebutkan, selama dalam Karantina Wilayah kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Namun, mereka menilai amanat dari undang undang sama sekali tidak direalisasikan ketika aktivitas masyarakat dibatasi secara sosial dan ekonomi. “Pemerintah seharusnya bertanggungjawab atas peraturan kebijakan yang dibuatnya. Sehingga banyak masyarakat muak dengan hadirnya kebijakan yang merugikan dan menindas rakyat,” urai mereka dalam surat pernyataan tersebut. Mereka juga menyoroti penggunaan istilah PPKM yang tidak dikenal dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU itu, yang ada adalah istilah karantina wilayah, karantina rumah sakit, karantina rumah dan pembatasan sosial berskala besar. “Karena itu kami menolak PPKM yang menyengsarakan rakyat. Kami menuntut terapkan Dine In (Makan di tempat, red) di semua kafe dan kedai kopi dengan waktu makan di tempat selama 30 menit,” tuntut mereka. Tidak hanya itu, para mahasiswa juga menyoroti anggaran penanganan Covid-19 yang dialokasikan oleh banyak sektor. Mereka menilai pemerintah tidak mengindahkan amanat Undang undang Nomor 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 9 ayat 2 dalam transparansi pengelolaan anggaran penanganan dan pencegahan Covid-19. Mereka mengungkapkan, anggaran penanganan Covid-19, BPK mencatat total anggarannya mencapai Rp1.035,2 triliun yang bersumber dari APBN Rp937,42 triliun, APBD Rp86,36 triliun, sektor moneter Rp6,50 triliun, BUMN Rp4,02 triliun, BUMD Rp320 miliar serta berasal dari dana hibah dan masyarakat sebesar Rp625 miliar. “Kemudian Pemerintah Daerah Lebak untuk penanganan dan pencegahan Covid-19 menyiapkan anggaran Rp116,7 miliar. Namun yang diamati sampai saat ini tidak adanya keterbukaan informasi mengenai alokasi anggaran penanganan dan pencegahan Covid-19 oleh Pemerintah Kabupaten Lebak,” katanya. Oleh karena itu, para mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Social Justice menuntut Pemkab Lebak segera melakukan transparansi anggaran penanganan Covid-19 dengan waktu selambat-lambatnya tujuh hari. Terpisah, Kabid Humas Polda Banten, Kombes Edy Sumardy, menyebut pembubaran aksi di Rangkasbitung dilakukan karena kegiatan tersebut melanggar aturan. “Selain melanggar aturan PPKM, kordinator aksi telah melanggar aturan aksi, yaitu tidak memiliki izin,” jelas Edy kepada BANPOS, Senin malam (26/7). Kabid Humas Polda juga menjelaskan bahwa Kabupaten Lebak masuk ke dalam level 3 penerapan PPKM Darurat. Sehingga semua kegiatan yang memicu kerumunan tentunya dilarang. "Jadi pembubaran itu juga dilakukan untuk mencegah terjadi penularan covid-19. Demonstrasi berpotensi menyebabkan klaster dan menambah kasus positif korona," terangnya. Adapun soal tudingan refresif kepada aparat yang membubarkan dan menangkap para pendemo, menurut Mantan Kapolres Kampar, Polda Riau ini sebagai upaya tindakan tegas preventif terhadap kondisi pemberlakuan aturan PPKM. "Bukan refresif, tapi itu langkah tegas yang harus dilakukan demi keselamatan rakyat dan mencegah penyebaran covid-19 di Banten, nanti mereka akan di swab antigen karena khawatir terpapar. Saya minta biarkan saja proses berjalan, kalau demo dibiarkan khawatir banyak masyarakat yang terkonfirmasi covid-19,” tegas Edy. Ditambakan Edy, sudah banyak yang dilakukan pemerintah semenjak awal pandemi covid-19 hingga saat ini, seperti pembagian sembako, pemberian bantuan sosial (bansos) hingga dilakukannya vaksinasi massal. Karena menurut Edy, apa yang dilakukan pemerintah saat ini tak lain untuk melindungi keselamatan warga Indonesia dari wabah yang tengah menyerang dunia. Kata dia, sehingga upaya terindah dari masyarakat adalah mengikuti semua aturan yang sudah dibuat pemerintah. "Banyak anggaran negara yang sudah dikeluarkan untuk atasi pandemi korona ini. Antara lain dengan membuat aturan hukum untuk dilaksanakan agar masyarakat aman tidak terpapar covid-19. Jadi berpikir positif dulu. Karena saat ini dunia sedang sakit dan jangan mau dimanfaatkan oleh yang ingin mengeruhkan situasi,” paparnya.(WDO/ENK) Caption : Tampak massa yang mau aksi demo Tolak PPKM Darurat di halaman Pendopo Bupati Lebak akhirnya dibubarkan aparat dan diangkut ke truk polisi untuk dilakukan tes swab antigen, Senin (26/7). (FOTO: WIDODO CH/BANTEN POS)<!--nextpage-->
Discussion about this post