Sebagai aktor sipil yang saaat ini aktif di organisasi gerakan mahasiswa, penulis ingin mengulik problem klasik Demonstran dan Polisi ikhwal penyampaian pendapat dimuka umum, yang syarat dengan pelanggaran nilai-nilai HAM. YLBHI dalam siaran pers yang dikutip dari situs LBH Yogyakarta (https://bit.ly/3ckm4Ao) mencatat, bahwa aparat Kepolisian merupakan aktor paling dominan dalam kasus pelanggaran fiar trial pada tahun 2019, terdapat 1.847 korban dari 160 kasus. Angka yang sangat tinggi tersebut berkaitan erat dengan aksi-aksi massa yang terjadi sepanjang 2019. Maka menarik kemudian jika tema Democratic Policing direfleksi, disaat banyaknya catatan-catatan buruk pemolisian, terkhusus hubungannya dengan massa aksi.
Sebelum tulisan ini tayang, problem klasik ini menimpa kader HMI MPO Cabang Bogor, saat aksi demonstrasi didepan kantor Bupati Kabupaten Bogor pada tanggal 17 september 2020 lalu. Beberapa demonstran mengalami perlakuan represif oknum Polri dan Satpol PP Kabupaten Bogor. Di Sulawesi Tenggara, meninggalnya dua Mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) pada gerakan Reformasi Dikorupsi september 2019 lalu (Randi dan Muh. Yusuf Kardawi) menyulut solidaritas Mahasiswa Kendari, dan menggelar Aksi pada 26 September 2020. Bentrokan antara massa aksi dengan aparat kepolisian tak terhindari, hingga Polisi mengerahkan Helikopter untuk membubarkan massa. Selanjutnya, beredar video ketua umum HMI MPO Cabang Serang di seret dan diperlakukan tidak manusiawi saat aksi bersama puluhan mahasiswa lainnya dalam peringatan HUT Provinsi Banten ke 20 di kantor DPRD Banten (4/10/2020). Secara umum, peristiwa-peristiwa tersebut melulu dibenarkan atas nama Hukum, ragam macam dalil regulasi yang lentur bahkan mengikat di pakai sebagai landasan tindakan-tindakan pengendalian massa yang berujung represif tersebut.
Demonstrasi dan Regulasinya
Langkah demonstrasi menjadi pilihan demokratis masayarakat sipil dalam upaya mengemukakan pendapat dengan dalil-dalil pro keadilan. Langkah konstitusional tersebut dilindungi oleh UUD 1945 pada Pasal 28E, dan mekanisme pelaksanaannya di atur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaiakan Pendapat di Muka Umum. Polri sebagai institusi keamanan dalam negeri diamanatkan dalam Pasal 13 ayat 3 UU No. 9 Tahun 1998 untuk bertanggungjawab menyelenggarakan pengamanan guna menjamin ketertiban umum. Sebagai acuan turunan, Polri menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) No.16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dan Perkap No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Selain itu ikhwal perlindungan HAM terdapat Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Perkap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Discussion about this post