Sebetulnya pesantren jauh lebih siap dibandingkan pendidikan formal dalam melaksanakan pendidikan di musim wabah, model pendidikan pesantren serupa dengan pelaksanaan isolasi massal atau dikenal dengan karantina mandiri karena peserta didik belajar penuh dan menginap didalam pesantren sedangkan pendidikan formal hanya menerapkan belajar paruh waktu artinya anak-anak sekolah formal masih terbuka ruang interaksi sosial baik di lingkungan rumah, dijalan saat berangkat dan pulang ke sekolah juga interaksi didalam sekolah secara bebas baik di kelas, lingkungan sekolah juga dikantin terbuka interaksi dengan pedagang yang secara bebas berinteraksi sosial saat di pasar serta tempat-tempat umum yang berpotensi tempat sebaran virus corona.
Para peserta didik (santri) yang telah masuk di lingkungan pesantren dapat dilakukan isolasi atau karantia sehingga mengurangi batas interaksi sosial dengan lingkungan diluar pesantren, karena sulitnya mendapatkan alat tes corona yang akurat melalui swab dan pengecekan dengan (PCR Test) juga biaya yang cukup mahal maka pesantren dapat melakukan kegiatan karantina mandiri selama masa inkubasi virus selama 14 hari dengan berbagai kegiatan positif guna meningkatkan daya tahan tubuh dan penguatan mental agar para santri tidak mengalami stres karena ini berdampak pada peningkatan hormon kortisol dan menurunkan daya tahan tubuh.
Pelaksanaan isolasi atau pengkarantiaan para santri selama 14 hari sangatlah penting dan paling murah untuk memastikan bahwa kondisi santri telah aman dari virus corona setelah melewati masa inkubasi yakni 14 hari, namun bukan berarti ancaman virus telah hilang justru faktor-faktor ancaman virus masuk ke pesantren setelah melalui masa karantina 14 hari dan faktor resiko bisa muncul dari beberapa aspek.
Pertama, SDM Internal Pengurus Pesantren seperti guru, keluarga kiyai, petugas kebersihan dan staf pesantren yang masih melakukan interaksi sosial diluar lingkungan pesantren dan mendatangi daerah-daerah yang berpotensi tertularnya penyakit.
Discussion about this post